JN | Jakarta – Angka subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang digelontorkan Pemerintah saat ini bernilai fantastis. Jumlah subsidi BBM tersebut saat ini sudah mencapai Rp. 502 triliun dari yang awalnya sekitar Rp. 170 triliun.
Besarnya dana subsidi BBM membuat beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semakin berat dan cenderung tidak stabil. Padahal diperlukan stabilitas perekonomian agar berbagai program pemerintah dapat terus berjalan.
Stabilitas perekonomian nasional menurut pengamat akan bisa tercapai apabila penyesuaian harga BBM segera dilakukan beserta adanya program bantalan sosial yang tepat sasaran dan telah ditakar dengan baik.
Pasalnya pergerakan roda perekonomian Indonesia perlahan mulai berjalan, dengan ditandainya banyak aktivitas publik termasuk juga di bidang ekonomi. Hal tersebut membuat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi langsung melonjak tinggi belakangan ini.
Salah seorang Diplomat, Prof. Imron Cotan menyatakan bahwa konsumsi BBM yang meningkat di masyarakat tersebut sayangnya justru tidak diimbangi dengan ketersediaan minyak lantaran sedang terjadi ketegangan geopolitik dunia.
Maka dari itu, menurutnya Pemerintah harus benar-benar secara bijaksana merespons seluruh ketidakpastian itu.
“Tapi disisi lain ada konflik Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan supply minyak terganggu dan saat ini terjadi situasi anomali yang harus dihadapi secara prudent,” katanya dalam sebuah wawancara, Kamis (1/9/2022).
Pemerhati Isu-Isu Strategis tersebut juga menambahkan bahwa dalam upaya sikap bijaksana yang dilakukan oleh Pemerintah, maka bisa dengan terus menjaga ketersediaan, namun di sisi lain hal itu pasti akan memberatkan dan mengganggu anggaran negara.
“Pemerintah harus menyiapkan stockage (persediaan) dan itu memang penting sekali. Dari segi supply, Indonesia masih aman namun dari segi harga akan berat sekali mengganggu APBN,” tambahnya.
Padahal, APBN sendiri merupakan instrumen yang sangat penting untuk bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional sehingga tidak bisa jika hanya difokuskan untuk melakukan subsidi saja.
Mirisnya, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa sekitar 70 hingga 80 persen subsidi BBM yang sudah ditanggung oleh negara justru malah dinikmati oleh masyarakat yang sebenarnya tidak berhak.
Tentunya, menurut Prof. Imron, fakta lapangan tersebut sangat bertentangan dengan asas keadilan.
“Dan ini bertentangan dengan rasa keadilan, sehingga pemerintah menciptakan bantalan sosial yang terdiri dari tiga elemen Bantuan Tunai Langsung, sekitar Rp. 600 ribu, Subsidi Upah Rp.600.00 perbulan, dan subsidi 2% dari Dana Transfer umum untuk sektor transportasi termasuk ojek,” ungkapnya.
Opsi terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah saat ini dalam menyelesaikan permasalahan tersebut menurut beliau adalah dengan melakukan penyesuaian harga BBM subsidi beserta memberikan bantalan sosial pada masyarakat yang rentan.
“Ada dua track yang harus berjalan beriringan yakni mencoba menyesuaikan harga BBM bersubsidi dan pada sisi lain bantalan sosial juga dijalankan, sehingga akan menciptakan stabilitas,” jelas pria berusia 67 tahun tersebut.
Lebih lanjut, Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok periode 2010-2013 itu mengatakan bahwa bukan hal yang bijak apabila Pemerintah tidak sesegera mungkin melakukan penyesuaian harga BBM.
Bahkan dirinya juga sempat menyinggung usulan dari Rektor UI mengenai konsep The Golden Mid-way dengan perkiraan penyesuaian harga sekitar 30 hingga 40 persen.
“Kemarin, Rektor UI juga sudah mengenalkan konsep the Golden Mid-way yakni menyesuaikan harga 30-40 persen dan memperkuat bantalan sosial dengan menyasar kelompok yang terpapar kebijakan kenaikan harga,” pungkasnya.
Sebagai informasi, mengenai bantalan sosial sendiri, Pemerintah juga sudah menyiapkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada sekitar 20,6 juta masyarakat dengan penghasilan di bawah UMR dan telah menyisihkan dana hingga Rp 24,17 triliun sehingga daya beli masyarakat diharapkan tidak akan terlalu menurun. *(rls/LI)