JN | Jakarta – Bertempat di gedung theater Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada Rabu 16 November 2022, Akademi Jakarta kali ini memberikan penghargaan kepada seniman tari dua wajah yang sangat piawai menari yaitu Didik Nini Thowok.
Berawal dari sejarah, dewan kesenian Jakarta pada Juni 1968 punya pedoman dasar hadiah-hadiah Akademi Jakarta akan diberikan kepada karya seni terbaik dari seluruh Indonesia setiap tahunnya. Penghargaan pertama kepada WS.Rendra 1975, Zaini 1978, setelah itu terputus 25 tahun.
Penghargaan kembali diberikan pada tahun 2003 kepada Sidharta Soegijo, 2004 kepada Nano.S dan Gusmiati Suid.
Diawali 2005 penghargaan Akademi Jakarta tidak lagi didasarkan pada karya seni terbaik, melainkan “pencapaian sepanjang hidup” (Life time achievement) perseorangan dalam bidang seni maupun dalam bidang pemikiran. Kali ini penghargaan jatuh kepada seniman tari dua wajah Didik Nini Thowok yang memenuhi kriteria Akademi Jakarta, sangat pantas menerimanya.
Atas perjalanan panjang yang dilakukannya dalam lanskap pertunjukan seni tari Indonesia. Proses kreatif itu membangun nalar artistik yang melandasi identitas Didik Nini Thowok, sebuah metafor “hantu identitas” yang mendekonstruksi praktik-praktik rasisme dan seksisme.
Melalui penghargaan Akademi Jakarta tahun 2022 untuk beliau. Akademi Jakarta membagikan lanskap pengetahuan untuk seni pertunjukan tari, praktik-praktik lintas agama, maupun kajian pertunjukan dan menguak konstruksi gender yang ditabukan.
Dalam wawancara dengan jurnalis Christy, “saya terharu, emosional mewek dan ga bisa ngomong saat sambutan. Ga nyangka karya saya diapresiasi dengan penghargaan. Saya berpesan kepada seniman generasi Milenial, hendaknya jangan meninggalkan akar tradisi.”
“Kreatifitas tetap harus ingat budaya daerah, Indonesia itu sangat kaya dan tidak pernah habis untuk digali. Ingatlah akan historis, filosofi, style dsb, jangan sampai meninggalkan. Saya memadukan tarian tentunya banyak belajar seni tradisi daerah dan negara lain, banyak membaca, meneliti pengaruh Tionghoa, Bali, India.”
“Demikian juga ritual keagamaan saya lakukan saat mendapat peran suatu tari.
Waktu di Jepang saya menjadi Dewa Matahari ya saya lakukan ritual agama Budha. Saat kita belajar harus zero/nol/mengosongkan diri/rendah hati, itu ajaran Kakek saya, sehingga bisa menerima total seni tari yang baru.”
“Tari adalah nafas, jiwa, hati saya, sampai maut menjemput saya akan tetap menari.
Karena saya menari dengan hati.
Selama ini belum ada penari dua wajah generasi penerusnya. Masih sangat langka,
Betul-betul Anugerah dari Tuhan talenta ini diberikan. Saya sangat bersyukur setua ini karya saya masih diapresiasi.”
Demikian menutupnya, seniman tari yang sudah banyak mendapat penghargaan itu.
(Jurnalis Christy)