JAKARTA | Jurnalis Nusantara – Ratusan nasabah gagal bayar Rp 15,9 triliun Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (24/7/2023), pukul 11.00 wib. Kedatangan para nasabah tersebut didampingi oleh Tim Kuasa Hukumnya bertujuan untuk mengawal sidang permohonan uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
“Hari ini kita sebagai pemohon yang terdiri dari 6 pemohon yakni 2 (dua) dari Perorangan dan 4 (empat) dari Badan Hukum mendatangi sidang MK terkait uji materi terhadap UU PPSK yakni UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Salah satunya pemohon adalah korban dari asuransi Wanaartha,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum Korban Wanaartha, DR. Muhammad Rullyandi, S.H., M.H., kepada awak media.
Muhammad Rullyandi berpendapat uji materi terhadap UU PPSK yang menetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai penyidik tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan sangat perlu jika terjadi kasus pidana keuangan.
“Karena penegakan hukum terhadap kasus pidana keuangan oleh Bareskrim Polri jadi terhambat dengan adanya UU PPSK ini. UU ini memberi wewenang penuh kepada OJK sebagai satu-satunya sebagai penyidik tunggal. Hal itu disebutkan dalam pasal 49 ayat 5 bahwa penyidikan kasus hanya dapat dilakukan oleh OJK. Sementara jika terjadi kasus pidana keuangan, penanganan hukum terhadap oleh Bareskrim Mabes Polri pasti akan terhambat,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Muhammad Rullyandi pelaksanaan UU PPSK sangat bermasalah terutama Pasal 49 ayat 5 dan Pasal 49 ayat 1 khususnya mengenai penyidikan pegawai tertentu yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Jadi kami serahkan ke Mahkamah Konstitusi untuk bisa menguji UU PPSK terhadap Pasal 49 ayat 5 dan Pasal 49 ayat 1. Selain itu agenda sidang hari ini adalah mendengar keterangan Presiden atau Pemerintah bersama-sama dengan DPR. Tadi sudah kita sudah dengar dari Ketua Majelis sidang ditunda karena Pemerintah dan DPR belum siap untuk memberikan keterangan dan sidang akan digelar pada hari Kamis tanggal 3 Agustus 2003. Sudah kita siapkan gugatannya sebanyak 129 halaman. Jadi dari 6 pemohon ini ada pemohon perorangan, badan hukum, ada juga korban asuransi warga Bengkalis. Beliau melihat bahwa OJK ini tidak ada representasi di kabupaten Bengkalis Jadi kalau sewaktu-waktu ada masalah tentu itu membutuhkan perjuangan untuk sampai ke OJK perwakilan Riau,” tuturnya.
Muhammad Rullyandi, S.H., M.H. berharap MK menerima permohonan uji materi terhadap UU PPSK, dimana Polri harus tetap diberi kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
“Kita berharap uji materi ini diterima dan diloloskan oleh MK, yang mana pihak Polri nantinya bisa melakukan penyidikan sehingga kedepannya para korban Wanaartha Life ini bisa mendapatkan keadilan. Jadi kita tunggu sidang selanjutnya karena nanti ada gilirannya dari pihak terkait yakni Polri dengan OJK untuk memberi keterangan. Nanti ada juga untuk menguji saksi dan fakta. Saksi dan fakta serta ahli. Kita akan menghadirkan ahli juga,” pungkasnya.
Sementara di tempat yang sama, Ketua Aliansi Korban Wanaartha Life Johanes Buntoro Fistanio mengatakan saat ini Pemerintah dan DPR sebagai pemegang regulator telah mengabaikan jeritan korban kejahatan keuangan dan peran Negara tidak hadir dalam melindungi rakyatnya.
“Kami para korban akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak konstitusional kami yang saat ini kami rasakan terbunuh oleh UU PPSK yang dibuat oleh Pemerintah dan para Wakil Rakyat di Senayan. Sebagai Wakil Rakyat tetapi mengapa mengkhianati rakyat yang diwakilinya dengan memberikan kekuasaan Super Power kepada OJK yang kami rasa justru OJK memberikan perlindungan kepada kartel-kartel kejahatan keuangan.
Jadi kami akan terus berjuang mendapatkan keadilan atas hak-hak kami,” katanya.
“Namun kewenangan tersebut tidak pernah dipakai? Ada apa dengan Regulator? Kami bertanya-tanya apakah Negara tega membunuh Hak konstitusional rakyatnya ? Dan kami merasa Regulator seperti OJK lebih memihak dan melindungi kartel-kartel kejahatan sektor keuangan dibanding melindungi konsumen asuransi. Sebagai rakyat Indonesia yang dilindungi hak konstitusionalnya kemana lagi kami rakyat harus mengadu ? Saat ini harapan kami hanya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonannya agar hak hak konstitusional korban kejahatan keuangan dipulihkan dan mengembalikan harkat martabat Kepolisian RI dari pengebirian wewenangnya karena kami rakyat Indonesia lebih mempercayai Kepolisan RI tercinta,” pungkas Johanes Buntoro.
Disaat yang sama, H.Joko Kundaryo SH,MM Ketua Suara Konsumen Jakarta yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, “Harusnya OJK fokus pada pencegahan dan pengawasan saja supaya tidak ada lagi kejahatab di bidang keuangan,” ujar Joko.
“Apa yang terjadi pada Asuransi WanaArtha Life bisa menjadi contoh untuk OJK, bagaimana Asuransi WanaArtha Life yang lebih dahulu bahkan kita sudah fasilitas di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen DKI Jakarta yang memang harus di selesaikan bukan setelah masuk keranah hukum malah menjadi di sita untuk negara,” kata Joko.
“Orang yang berinvestasi di asuransi itu bukan untuk kaya tetapi mereka ikut untuk mempertahankan kehidupan, seperti mereka yang ikut berasuransi untuk anaknya sekolah dengan kejadian semacam ini maka uang investasi mereka otomatis hilang dan hal seperti ini sangat disayangkan,” ungkap Joko.
“Perlu kita ingat penyelesaian permasalahan terhadap konsumen harus menjadi fokus utama dalam penyelesainnya,” tutur Joko.
Sebelumnya OJK diberi kewenangan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Hal itu tercantum dalam Pasal 49 ayat (5). Artinya, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK juga bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.
“Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan,” demikian bunyi Pasal 49 ayat (5). (JN).