JN | JAKARTA -Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI gelar Rapat Kerja Nasional (Rakornas), bertempat di gedung Nusantara V DPR MPR RI Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Dalam konferensi Pers usai acara Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Ir Stefanus Berty Arnicotje Nicolaas Liow MAP (SBANL) mengatakan Rakornas ini dilaksanakan untuk mendengarkan aspirasi dari daerah menyangkut pembentukan peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), “ucapnya, Rabu (23/11/2022).
Hadir pada Rakernas ini para pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah dalam Rakernas, yakni:
– Dirjen Bina Keuangan Daerah, Xomenterian Dalam Negeri RI:
– Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI:
– Ketua Bapemperda DPRD Provinsi, Kepala Biro Hukum Provinsi, Kepala Badan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi/ Kepala Badan Pendapatan Daerah seluruh Indonesia:
– Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota: dan – Ketua Asosiasi DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), Pemerintah Daerah mendapatkan tantangan baru. Berlakunya undang-undang ini mencabut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan juga mencabut beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sepanjang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berlakunya Undang-Undang HKPD juga membawa konsekuensi penyesuaian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajax Daerah dan Retribusi Daerah agar sesuai dengan perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Hal ini menjadikan daerah menghadapi tantangan sangat besar dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan UU HKPD tersebut seperti: Pertama, perubahan mekanisme range price berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 menjadi kontraproduktif dengan semangat regulerend pajak dalam menghadirkan iklim investasi yang kondusif sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU HKPD. Kedua, adanya kebijakan pembaruan pada aspek jenis, tarif, hingga prosedur pemungutan PDRD di daerah. Ketiga, melalui UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemda memiliki kewenangan lebih luas untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemerintah Daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan pengenaan tarif PDRD, mengelola pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah, dan menambah jenis-jenis pajak baru untuk memperluas basis pajak di daerah.
Di sisi lain, dikeluarkannya Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas uji materi UU Cipta Kerja, yang memicu polemik atas multiinterpretasinya, sedikit banyak telah membuat daerah bingung untuk mengimplementasikan penyesuaian regulasi di tingkat daerah, meskipun dalam hal ini daerah harus tetap mempedomani Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 guna menindaklanjuti Putusan MK dimaksud.
Sementara itu Undang-Undang HKPD memerintahkan untuk membentuk peraturanperaturan daerah terkait pajak dan retribusi, setidaknya ada 30 item pajak daerah dan retribusi daerah yang harus diatur melalui peraturan daerah. Kebijakan ini berubah sangat signifikan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sementara itu daerah hanya mempunyai waktu maksimal 2 (dua) tahun dan beberapa diantaranya maksimal 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian.
Kesimpulan dari Rakernas BULD DPD RI adalah sebagai berikut:
1. Sesuai dinamika Rapat Kerja Nasional perlu upaya penguatan legislasi di daerah karena:
a. pemberian kewenangan pemungutan daerah oleh pusat: b. kebijakan atau regulasi yang terdesentralisasi: dan
C. materi muatan undang-undang atau peraturan pemerintah yang perlu perda untuk implementasi di daerah.
Hal tersebut menyebabkan:
a. daerah harus segera melakukan penyusunan peraturan daerah, peraturan kepala daerah untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan untuk implementasi UU HKPD:
b. daerah harus mengonstruksikan kebijakan baru untuk disesuaikan dengan kebijakan baru yang ditetapkan pemerintah pusat.
Bahwa untuk melaksanakan amanat UU HKPD, sebagai pengganti UU PDRD, pemerintah daerah perlu segera menetapkan perda mengenai PDRD untuk melakukan pungutan di daerah. Kewenangan pungutan PDRD ini merupakan konsekuensi dari pemberian oiunomi yang seluas-luasnya dalam bingkai NKRI.
2. Permasalahan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap kewenangan daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda) dan berbagai regulasi lainnya di daerah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. kebijakan pembaruan pada aspek jenis, tarif, dan prosedur pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ditandai dengan hadirnya skema opsen, simplifikasi jumlah dan perubahan nomenklatur, serta sejumlah pengaturan baru terkait pajak daerah dan retribusi daerah. Oleh sebab itu diperlukannya waktu yang ideal bagi daerah guna dapat menyesuaikan dengan kebijakan pembaruan tersebut dalam kerangka implementasi UU HKPD:
b. Undang-Undang HKPD juga memerintahkan penetapan peraturan daerah terkait pajak daerah dan retribusi daerah dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) sejak UU HKPD ditetapkan:
c. Daerah memerlukan waktu transisi untuk memberlakukan ketentuan pajakpajak seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB. Oleh karena itu, khusus jenisjenis pajak tersebut dalam UU HKPD diberikan waktu transisi 3 (tiga) tahun,
d. Berkaitan dengan pengaturan mengenai opsen pajak perlu dilakukan secara hati-hati dan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta dalam rangka peningkatan pembangunan di daerah,
e. Provinsi perlu mengoptimalkan sumber pendapatan daerah seusai peraturan perundang-undangan (contohnya pajak alat berat) dikarenakan adanya pajakpajak baru sebagai sumber pendapatan daerah,
f. Penambahan sumber pendapatan berupa dana bagi hasil khususnya bagi daerah penghasil sawit:
g. Sampai dengan saat ini baru 3 (tiga) Pemda dari 546 yang telah menyampaikan ranperda PDRD berdasarkari UU HKPD pada Kemenkeu. Untui itu, diharapkan dapat dilakukan langkah-langkah percepatan penyusunan ranperda PDRD.
3. Permasalahan lain terkait penyelenggaraan pemerintahan yang dihadapi daerah, terkait dengan pembentukan peraturan daerah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas uji materi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memicu polemik atas multiinterpretasinya. Hal ini telah membuat daerah bingung untuk mengimplementasikan penyesuaian regulasi di tingkat daerah, meskipun dalam hal ini daerah harus tetap berpedoman pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 guna menindaklanjuti Putusan MK dimaksud. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu mengambil sikap tegas terkait status UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja saat ini.
b. Sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait dengan implementasi UU HKPD. Untuk segera dilakukan sehingga percepatan implementasi di daerah dapat segera dilaksanakan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan segera menerbitkan dan mensosialisasikan format pengaturan pajak dan retribusi dalam perda.
c. Penyempurnaan terhadap permasalahan-permasalahan sebagai akibat implementasi UU HKPD dirumuskan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
4. BULD DPD RI membuka diri untuk menerima konsultasi dari para pemangku kepentingan di daerah, dalam kerangka harmonisasi legislasi pusat-daerah.
5. BULD DPD RI membangun kemitraan dengan Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI dan Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI dalam upaya membangun harmonisasi legislasi pusat-daerah melalui sosialisasi regulasi mengenai pajak daerah dan retribusi daerah di tingkat pusat kepada daerah.
Stefanus berharap, sesuai menjembatani aspirasi kepentingan daerah maka kami berharap BULD Hadir untuk menjembatani aspirasi keuangan daerah dalam wadah kesatuan Republik Indonesia, kalaupun ada persoalan dan kendala terkait dengan Raperda dan Perda, maka BULD dapat menjembatani daerah dan pemangku kepentingan di pusat dalam hal ini kepentingan terkait, “pungkasnya.
*(LI)