Jurnalisnusantara.com | Jakarta. – Kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) itu ternyata sampai sekarang belum dieksekusi sehingga terdakwa masih terlihat berkeliaran hingga ke Jakarta. Sebaliknya, masyarakat makin sinis dengan sistem penegakan hukum di Indonesia. Reformasi hukum masih jalan di tempat. Moralitas para penegak hukum dipertanyakan.
Forum Gerakan Penegak Hukum dan Keadilan Indnesia (FG-KEPHIN) menggelar webinar bertema “Tebang Pilih Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Tanah Papua”, Minggu (23/7/2023) di Jakarta.
Webinar menghadirkan Advokat senior dari Forum Gerakan Penegakan Hukum dan Keadilan Indonesia, Cosmas Refra, S.H, M.H, dengan host Muslim Arbi, pengamat masalah sosial, politik, dan hukum, sekaligus Direktur Gerakan Perubahan.
Dalam acara ini, penyelenggara ikut mengundang pimpinan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, praktisi hukum, masyarakat pemerhati hukum, mahasiswa, dan aktivis penegakan hukum dan anti korupsi seluruh Indonesia.
Keprihatinan yang disorot dalam webinar ini adalah sikap-sikap tidak adil dan berat sebelah yang diperlihatkan oleh sejumlah lembaga penegakan hukum di negeri ini dalam menghadapi setiap kasus hukum, terutama yang terkait dengan seorang pejabat.
Ungkapan sinis publik bahwa “hukum kita tajam ke bawah dan tumpul ke atas” masih terlihat dalam pelbagai perkara hukum. Padahal dengan sekali bersikap tegas dan adil, banyak perkara bisa diselesaikan segera tanpa harus menunggu perkara itu beranak pinak lagi dan lagi.
Forum Gerakan Penegak Hukum dan Keadilan Indonesia (FG-KEPHIN) menyoroti kasus hukum yang sudah berkekuatan hukum namun belum juga dieksekusi oleh kejaksaan. Mantan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze telah divonis pengadilan sebagai pihak yang bersalah karena terbukti korupsi, namun sampai ini Johanes Gluba Gebze masih belum ditangkap dan bisa berkeliaran kemana-mana.
Johanes Gluba Gebze divonis bersalah dengan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura Nomor: 71/Tipikor/2014/PN.Jpr. tanggal 24 April 2014. Kemudian perkaranya bergulir terus di pengadilan, sampai Mahkamah Agung memutuskan vonis penjara 10 tahun.
Namun Johanes Gluba Gebze hingga saat ini belum dieksekusi oleh Kejaksaan padahal kasusnya sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung sejak 2016 lalu. Johanes Gluba Gebze menyelewengkan dana APBD 2006-2010 sebesar Rp 8,49 miliar. Dana itu digunakan untuk pemberian suvenir kulit buaya kepada para tamu Pemda yang berkunjung ke Kabupaten Merauke. Kasus ini telah divonis di Pengadilan Tingkat pertama serta Mahkamah Agung.
Dalam Putusan Mahkamah Agung terdapat beberapa point. Pertama, terdakwa Johanes Gluba Gebze telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana. Kedua, menyatakan terdakwa divonis 10 tahun penjara, dengan denda Rp 200 juta. Sementara itu pengadilan meminta uang pengganti dari terdakwa sebesar Rp 18 miliar lebih. Ini membuktikan bahwa yang bersangkutan sudah divonis pada 12 Januari 2016.
“Kalau sudah jadi terpidana, maka Gluba Gebze wajib dieksekusi. Nyatanya sampai saat ini, 2023, beliau belum dieksekusi oleh Kejaksaan. Ada apa,” tanya Cosmas Refra.
Menurut Cosmas Refra, semua orang sama di hadapan hukum. Karena itu Kejaksaan RI segera mengeksekusi terdakwa Gebze untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Ketidaktegasan Kejaksaan itu membuat publik balik mempertanyakan integritasnya. Sudah bukan rahasia lagi, banyak kasus hukum yang ditebang-pilih seenaknya oleh lembaga hukum Kejaksaan.
“Saya mendesak Kejaksaan Agung RI untuk segera mengeksekusi kasus Gluba Gebze dan meminta Gebze pro aktif menyerahkan diri. Itu sikap terbaik,” desak Cosmas.
Belum dieksekusinya Gebze membuat masyarakat merasa aneh terhadap sikap pihak Kejaksaan. Masyarakat bertanya mengapa Gebze belum ditangkap, padahal keptusana berkekuatan hukum dari pengadilan itu sudah dijatuhkan pada dirinya. Gebze terbukti bersalah dan divonis dengan hukuman penjara selama 10 tahun.
Sementara pada kasus hukum Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe, KPK dan Kejaksaan sangat pro aktf melakukan penangkapan sekalipun Lukas sedang sakit dan dilindungi para pendukungnya. Membandingkan dua kasus ini, publik berpendapat Kejaksaan RI telah memperlihatkan sikap tebang pilih. Johanes Gluba Gebze dibiarkan bebas kemana-mana, sementara Lukas Enembe yang sakit digiring paksa menghadap persidangan. Apa motif di belakang sikap Kejaksaan kita?
Forum Gerakan Penegak Hukum dan Keadilan Indnesia telah meminta audiensi dengan Jampidsus. Dari pertemuan itu pihak Kejaksaan mengatakan ada hambatan dalam eksekusi Johanes Gluba Gebze, yaitu yang bersangkutan selalu mengerahkan massa untuk melakukan perlawanan dan alasan sakit. (Wan)